23 October 2012

Menjual Buku (Cetak) di Era Digital

Disadari atau tidak, betapa dalam kurun tidak lebih dari satu dekade, kehidupan kita telah sangat dipengaruhi oleh internet. Terlebih ketika dunia maya dengan fasilitas sosial medianya sudah berada dalam genggaman. Dalam hitungan sekian detik, kita sudah bisa terhubung dengan dunia yang mendekatkan sekaligus menjauhkan tersebut.

Tentunya sudah terlampau sering kita mendengar dalam diskusi tentang minat baca keluhan tentang media sosial ini. Anak-anak muda lebih senang buka facebook atau twitter ketimbang baca buku. Benarkah demikian? Barangkali sebagian besar dari kita akan tegas menjawab YA.

Namun, marilah kita lihat situasi dengan lebih jernih. Cobalah perhatikan status facebook atau linimasa akun twitter banyak pencinta buku. Betapa riuhnya. Mereka dengan gembiranya berbagi pengalaman membaca mereka kepada banyak orang yang mungkin sebagian besar tidak mereka kenal.

Kedua, era digital telah membawa buku justru ke dalam genggaman lebih banyak orang. Simaklah misalnya twit seseorang yang mengaku baru mengenal karya seorang penulis. Dia tahu karya si penulis justru melalui media sosial. Hal ini barangkali yang bisa disebut sebagai "mendekatkan yang jauh". Tidak hanya buku yang didekatkan ke pembacanya, tapi juga penulis kecuali si penulis memilih untuk "mati".

Di era digital ini pula para pegiat industri buku harus berhadapan dengan jenis konsumen baru. Mereka adalah generasi muda yang sangat cerewet terutama tentang sesuatu yang tidak disukai. Mereka juga sebagian besar dari keluarga yang mapan dan sangat akrab dengan gadget plus internet. Harga buku bisa menjadi tidak terlalu sensitif buat mereka karena terbiasa menabung untuk nonton konser idola mereka. Juga, mereka sudah biasa membeli buku dari penerbit/toko buku dari negeri nun jauh di sana. (i_risd)

10 October 2012

Mencicipi Pameran Buku di China

Beijing International Book Fair (BIBF) 2012 telah digelar pada 29 Agustus - 2 September 2012 lalu. Acara ke-19 ini (bandingkan dengan Indonesia Bookfair yang tahun 2012 merupakan acara ke-32) dimulai sejak 1986 demi "mengenalkan buku-buku berkualitas kepada rakyat China, sekaligus mengarahkan buku-buku China ke ajang dunia." BIBF menempati lahan seluas 53,600 meter persegi di China International Exhibition Center (New Venue).

Sebagai negara yang digadang-gadang oleh para penerbit Eropa & Amerika sebagai pasar "menjanjikan", China menjadi pusat perhatian baru di dunia penerbitan dunia saat ini. Jumlah penduduknya yang lebih dari 1,3 miliar jiwa merupakan calon konsumen yang menggiurkan setelah dunia perbukuan Amerika & Eropa dihajar oleh kelesuan ekonomi mereka. Tidak mengherankan bila di BIBF bisa ditemukan stand penerbit-penerbit besar semacam Penguin. Selain agen-agen naskah, juga perwakilan negara-negara seperti Rusia, Swedia, Jepang, Korea. Ada juga negara tetangga kita Singapura, Thailand, dan Malaysia.

Stand penerbit-penerbit Malaysia, disokong pemerintah.
Di BIBF kita tidak akan temukan display jualan atau stand buku murah seperti pameran buku di Indonesia (Indonesia Bookfair, Islamic Bookfair, dll). Buku-buku yang dipajang hanya sebagai sampel untuk dilihat pengunjung serta tentu saja katalog-katalog untuk dibawa pengunjung. Pameran ini memang sepertinya didesain untuk mempertemukan para pegiat buku (juga pembaca) dan melakukan transaksi bisnis rights buku, ilustrasi, konten, dsb. Bukan jual-beli buku laiknya toko buku.

Menariknya adalah betapa antusiasnya masyarakat China terhadap BIBF. Di hari pembukaan (29 Agustus) yang sejatinya mulai dibuka pukul 09.00 tapi baru dibuka untuk umum pukul 11.00 karena masih ada upacara pembukaan oleh pejabat setempat, orang-orang berjubel di pintu masuk. Padahal untuk bisa masuk ke dalam ruang pameran, pengunjung harus membeli tiket sekali masuk yang harganya tergantung pada kelihaian mereka menawar kepada calo tiket.

Orang berjejalan menunggu pintu masuk dibuka.
Calo tiket? Ya, calo tiket. Bila anda membaca situs resmi BIBF, anda akan menemukan di situ bahwa pameran 2012 akan gratis. Pengunjung bisa mendapatkan tiket gratis dengan mengisi formulir yang disediakan di loket-loket. Namun, ternyata tidak ada loket, tidak ada formulir. Yang ada hanyalah para calo yang berkeliaran di dekat pintu masuk menawarkan tiket harian (50 yuan) atau tag exhibitioner (100 yuan). Loket yang akhirnya berhasil kutemukan ternyata juga tanpa penghuni. Jadi, jalan satu-satunya untuk masuk ke dalam gedung ya nawar tiket ke calo.

Hari pertama pameran memang hari yang heboh. Betapa tidak, tiket yang seharusnya gratis itu ternyata diperjualbelikan dengan harga tentatif, tergantung kelihaian menawar si pembeli. Itu untuk bisa lolos di gerbang pertama yang pintunya cuma dibuka sedikit untuk bisa dilewati 1 orang dan dijaga oleh sekuriti-sekuriti bertampang galak. Pengunjung umum maupun peserta pameran berjejalan di dekat pintu masuk gerbang halaman gedung.

Loket yang kosong.
Setelah lolos saringan pertama, pengunjung bisa melewati halaman gedung menuju pintu masuk. Tunggu dulu. Pengunjung belum boleh masuk. Orang-orang mengantre di salah satu sisi gedung. Sekuriti-sekuriti berwajah keras menjadi penyaring masuk. Tidak jelas siapa yang boleh dan yang tidak. Bahkan sempat terjadi keributan antara seorang panitia & pengunjung yang meski tidak sampai adu jotos, tapi diakhiri dengan penyobekan name-tag si pengunjung. Lalu, orang-orang pun dibubarkan dari antrean, diminta pindah ke sisi gedung yang lain.

Sebagian pengunjung berjejal di antrean baru, sebagian lain memilih berdiri agak jauh meski sedikit kepanasan. Seorang pengunjung di dekat saya mengumpat-ngumpat karena tidak ada penjelasan apa pun dari panitia mengenai larangan masuk gedung.

Menjelang pukul 11.00 barulah pengunjung diperbolehkan masuk setelah melewati detektor logam, meletakkan tas di mesin x-ray. Saya pikir, gila ini pameran buku apa masuk hotel? Berikutnya melewati pintu putar yang mengharuskan pengunjung memasukkan tiket. Ayo, ayo... meeting pertama saya sudah menunggu. Bergegas saya ke stand si X, kolega penerbit yang harus saya temui.

Salah satu stand penerbit China.
Setelah berhaha-hihi dan diskusi tentang naskah, saya pun berpamitan. Begitu tangan saya hendak meraih ransel di bawah meja, deg... Tas saya ilang! Wadoh, di dalam tas tsb ada bahan-bahan untuk meeting saya seharian, dan tas saya hilang di meeting pertama pula. Cilaka....

Saya pun melapor ke panitia pameran, walaupun tidak yakin bakal bisa temukan orang yang mengambil tas saya. Oleh seorang panitia (yang ternyata mahasiswa yang menjadi volunteer), saya diantar ke ruangan sekuriti yang berisi banyak polisi. Di situ, saya lihat ada seorang bule muda yang sedang membuat laporan kehilangan juga. Dibantu si panitia (para polisi tsb hanya berbahasa China) saya buat laporan, diantar ke ruangan berisi banyak layar monitor gedung, lalu isi form kehilangan. Intinya, meski dengan banyak kamera di dalam gedung tsb, sekuriti tidak bisa berbuat banyak karena kamera tidak bisa melihat detail, blablabla.... Saya akan dihubungi bila tas saya diketemukan.

Sorenya, petugas hotel sampaikan telepon dari polisi bahwa tas saya sudah ketemu dan saya diminta ambil di ruang sekuriti pameran. Baliklah saya ke sana. Tas saya utuh isinya kecuali sabak saya. Sepertinya barang itu saja yang dianggap paling berharga di tas saya. Hehehe...

Lapak buku bekas di pasar tradisional, Beijing.
Di sore itu, sewaktu saya ambil tas, ada orang Prancis yang sedang buat laporan kehilangan juga. Handphone & pasport dia hilang bersama handbag dia. Jadi, dalam sehari itu, saya bertemu 3 orang yang senasib dengan saya: siang saat melapor di ruang sekuriti, siang saat kembali dari ruang monitor, dan sore saat ambil tas. Besoknya ketika ketemu dengan si X yang saya temui sehari sebelumnya, dia cerita kalau salah satu kawannya kehilangan tas juga plus pasport. Agar bisa pulang, dia harus urus surat-surat selama 2 minggu. Beberapa hari kemudian, kolega si X berkirim surat ke saya dan cerita kalau si X juga kehilangan ponsel saat di pameran. Kebetulan? Ehm... mungkin.

Namun, terlepas dari hal-hal teknis selama pameran, kita bisa temukan semangat China untuk menggeber industri buku mereka. Berapa lama? Lima tahun, sepuluh tahun? Atau cukup 2-3 tahun untuk melaju? Bukan tidak mungkin....